K.H. Abdullah Gymnastiar
Berhati-hatilah
bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut
merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah
yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia
hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang
disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya. Tidak
demikian halnya ketika pertolongan ALLOH datang, kemudahan menghampiri,
kesenangan berdatangan, justru kemampuannya bersenang-senangnya bersama ALLOH
malah menghilang.
Bagi
yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya
jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu, tapi anehnya
ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini
perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan
perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarrub
kepada ALLOH sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Ketika
berwudhu, misalnya, ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal
dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba
dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu
kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.
Atau
ketika menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau
disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat
sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat, dan cepat. Kalau shalat sendirian
dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus.
Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita
ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas
dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang
ikhlas dalam beramal.
Hal ini
berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam
dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus-menerus
berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud
merindukan pertolongan ALLOH. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan
yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya
ini.
Orang-orang
yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak
ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang
kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain
memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh
suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa
tidak? Orang-orang yang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi
orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala
amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus.
Maka,
bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas
niatnya lurus kepada ALLOH saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya,
"Bismilahirrahmanirrahiim, ya ALLOH semoga aktivitas duduk ini
menjadi amal kebaikan". Lisannya yang bening senantiasa memuji ALLOH atas
nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat
menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub
kepada ALLOH.
Karena
banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan
pertambahan nilai apapun, selain menaruh [maaf!] pantat di kursi. Tidak usah
heran bila suatu saat ALLOH memberi peringatan dengan sakit ambaien atau bisul,
sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang ALLOH
karuniakan kepada kita.
Begitupun
ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati
yang paling dalam kita meyakini bahwa ALLOH-lah yang memberi makan tiap hari,
tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya.
Kalau
membeli sesuatu, perhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena
ALLOH. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena ALLOH. Karena menurut
Rasulullah SAW, kendaraan itu ada tiga jenis, 1) Kendaraan untuk ALLOH, 2)
Kendaraan untuk setan, 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya? Kalau
niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah
kendaraan untuk ALLOH. Tapi kalau sekedar untuk pamer, ria, ujub, maka inilah
kendaraan untuk setan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misakan kuda
dipelihara, dikembangbiakan, dipakai tanpa niat, maka inilah kendaran untuk
diri sendiri.
Pastikan
bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena
ALLOH. Karenanya bermohon saja kepada ALLOH, "Ya ALLOH saya butuh
kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa
meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga
amanah". Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini,
maka, bensinnya, tempat duduknya, shockbreaker-nya, dan semuanya dari
kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya ALLOH. Sebaliknya jika
digunakan untuk maksiyat, maka kita juga yang akan menanggungnya.
Kedahsyatan
lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal,
walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkanya.
Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan
mau bangun malam untuk tahajud, "Ya ALLOH saya ingin tahajud, bangunkan
jam 03. 30 ya ALLOH". Weker pun diputar, istri diberi tahu, "Mah,
kalau mamah bangun duluan, bangunkan Papah. Jam setengah empat kita akan
tahajud. Ya ALLOH saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya
doa". Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud.
Sayangnya,
ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia
akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan
gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk
tahajud dan tidak dibangunkan oleh ALOH, maka kalau ia sudah bertekad, ALLOH
pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin ALLOH tahu, hari-hari yang kita lalui
akan menguras banyak tenaga. ALLOH Mahatahu apa yang akan terjadi, ALLOH juga
Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu
banyak. Hanya ALLOH-lah yang menidurkan kita dengan pulas.
Sungguh
apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan
tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar