Jika
seorang muslim mendapati banyak fatwa dalam suatu permasalahan maka bagaimana
sikapnya yang benar dengan perbedaan pendapat ini? Jawabannya, tidak boleh dia
mencari-cari rukhshoh para fuqoha dan dia wajib
mengikuti pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut.
Lalu
apakah yang harus dia lakukan? Jawabannya, selayaknya pilihannya itu
berdasarkan timbangan yang pasti, yang bisa digunakan untuk mengetahui pendapat
yang rojih (kuat)
dari pendapat yang marjuh (lemah).
Timbangan ini adalah firman Alloh سبحانه و تعالي:
فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Alloh (al-Qur'an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. an-Nisa'
[4]: 59)
Sebab
itu, pendapat mana saja yang sesuai dengan al-Kitab dan as-sunnah adalah benar.
Sebaliknya, pendapat yang menyelisihi al-Kitab dan
as-sunnah batil.
Wajib
atas seorang muslim yang mampu meneliti untuk memilih pendapat yang sesuai
dengan dalil yang kuat. Imam Ibnu Abdil Barr
رحمه الله berkata:
"Yang wajib dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil
dari al-Kitab dan as-sunnah serta ijma' dan qiyas yang berdasarkan ushul (kaidah-kaidah
pokok) yang bersumber dari semua itu, tidak bisa tidak. Dan jika dalil-dalil
(khilaf tersebut) adalah sama-sama kuat maka wajib untuk memilih pendapat yang
paling menyerupai dengan apa-apa yang telah kita sebutkan dengan Kitab dan Sunnah. Apabila
dalil-dalil (khilaf tersebut) tidak jelas maka wajib untuk tawaqquf (menahan
diri). Apabila seseorang terpaksa mengamalkan salah satu pendapat (dari khilaf
tersebut) pada kondisi yang khusus pada dirinya maka ia boleh taqlid
sebagaimana dibolehkan bagi orang awam." (Jami'
Bayanil-Ilmi hlm. 903)
Wajib
atas seorang muslim untuk meminta fatwa kepada orang yang telah terpenuhi
syarat-syarat untuk berfatwa, baik dalam hal ilmu maupun waro'
(kehati-hatian). Janganlah dia bertanya
kepada orang yang yang mengeluarkan fatwa dengan kebodohan dan kebohongan.
Janganlah pula dia bertanya kepada orang-orang yang tasahul
(bermudah-mudah) dalam berfatwa, yaitu
yang suka memberi fatwa dengan rukhshoh dan kilah
(penipuan terselubung). Mereka tidak
boleh dimintai fatwa.
Demikian
pula, wajib atas pencari kebenaran untuk ber-isti'anah
(mohon pertolongan) kepada Alloh سبحانه و تعالي dan tunduk
kepada-Nya dengan berdo'a agar Alloh سبحانه و تعالي menunjukinya menuju kebenaran. Dan hendaklah dia berdo'a
dengan do'a Nabi صلي الله عليه وسلم:
اللَّهُمَّ! رَبَّ
جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرِافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ
بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوا فِيْهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ
بِإِذْنِكَ إَنَّكَ تَهْدَي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
"Ya
Alloh, Robb Jibril, Mikail, dan Isrofil.
Yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui perkara ghaib dan yang
tampak, Engkau menghakimi hamba-hamba-Mu pada apa-apa yang mereka
perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku kebenaran dari apa-apa yang mereka perselisihkan
dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki
menuju jalan yang lurus." (HR.
Muslim: 1/534 dari Aisyah رضي الله عنها)
Jika
khilaf sangat kuat sehingga seorang muslim tidak mampu mengetahui mana yang
benar, maka dia (boleh) bertaqlid kepada orang yang dia percayai ilmu dan
din-nya dan tidaklah dia dibebani dengan beban yang lebih dari ini. Imam
al-Khotib al-Baghdadi رحمه الله berkata dalam al-Faqih
wal-Mutafaqqih (3/348):
"Jika seseorang berkata: 'Bagaimana pendapatmu terhadap orang awam yang
meminta fatwa, jika ada dua orang yang memberinya fatwa, sedangkan kedua orang
tersebut berselisih, dia boleh taqlid?' Maka dijawab, untuk perkara ini ada dua
sisi: pertama, jika orang awam tersebut luas
akalnya dan baik pemahamannya maka ia
wajib bertanya kepada dua orang yang berselisih tersebut tentang madzhab
(pendapat) mereka beserta hujjah mereka lalu dia mengambil pendapat yang paling
kuat menurut dia. Namun jika akalnya
kurang tentang hal ini dan pemahamannya tidak baik maka
dia boleh taqlid kepada
pendapat yang paling baik menurut dia di antara kedua orang tersebut. Ada yang
berpendapat bahwa dia boleh mengambil yang dia kehendaki dari orang-orang yang
berfatwa, dan ini adalah yang shohih karena dia bukan ahli ijtihad —sehingga
yang bisa dia lakukan hanyalah merujuk kepada perkataan seorang ulama yang
dipercaya dan dia telah melakukan hal itu— maka hal itu telah mencukupinya. Wallohu
A'lam."
[1] Ini
adalah penggalan dari artikel dengan judul Tatabbu’ Rukhosh Adalah Awal
Kehancuran oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Syaifullah dalam Majalah
Al-Furqon Edisi 06, th. Ke-8, 1430 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar